Saya tidak tahu berapa banyak di antara pembaca sudah pernah membaca buku yang berjudul Tortured for Christ, tulisan Pdt. Richard Wurmbrand yang ditulis sekitar empat dekade yang lalu. Dia adl hamba Tuhan yang melayani gereja di bawah tanah di tengah2 paham Komunis yang menentang Injil. Pendeta Wurmrand dipenjarakan selama 14 thn karena ‘memberontak’ kepada pemerintah dengan terus memberitakan Injil di negara Komunis tersebut. Apa hubungannya dengan judul tersebut di atas? Begini, dalam buku tersebut dia mengisahkan bagaimana umat Allah menderita ketika itu, mereka disiksa dan dipenjarakan karena imannya. Namun demikian, di dalam penjara, mereka terus memuji Tuhan dengan menggunakan ‘alat musik’ borgol yang ada di kaki dan tangan mereka. Mereka terus bernyanyi hingga pengawas penjara datang dan menghentikan mereka. Akibat dari bernyanyi tsb, pengawas menghukum satu orang dengan puluhan kali cambukan sebagai akibat dari pelanggaran tsb. Nah, ini yang menarik, setelah orang tersebut dicambuk sedemikian menderita dan dikembalikan ke ruang tahanan, orang tsb menyerukan agar jemaat kembali memuji Tuhan. Dan setiap kali pengawas datang dan mengganjar satu orang sebagai akibat pelanggaran tsb, orang yang sama sudah siap untuk menerima hukuman tsb!
Apakah itu tidak aneh? Barangkali demikian pertanyaan sebagaian orang. Kok bodoh banget sih mau disiksa demikian ‘hanya’ untuk bernyanyi seperti itu? Tapi sesungguhnya mereka tidak bodoh, mereka adalah orang2 yang sangat menikmati apa artinya memuji dan membesarkan nama Allah, termasuk ketika mereka menderita sekalipun. Dan selain itu, mereka juga adalah orang2 yang telah mengalami kenikmatan dan kuasa rohani ketika memuji nama Tuhan. Bagi mereka, dengan memuji Tuhan, mereka dikuatkan kembali untuk tetap bertahan dalam iman mereka di tengah2 siksaan yang sedemikain berat. Jadi, bagi mereka, memuji Tuhan bukan sekedar selingan kosong tanpa makna. Mereka juga bukan bernyanyi ketika semuanya lancar dan akan berhenti memuji Tuhan jika ada masalah dalam kehidupan.
Dari kisah tersebut di atas, kita sedikit dapat memahami mengapa ada orang yang sedemikian bergairah memuji Tuhan (baik secara pribadi atau bersama), bahkan dalam waktu yang cukup lama, sementara yang lain untuk menyanyikan sebuah lagu pujian saja sudah ‘ngos-ngosan’. Jadi masalahnya bukan pada karunia, bahwa yg seorang memiliki karunia menyanyi dan yang lain tidak. Juga bukan karena yang seorang memang suka nyanyi dan yang lain tidak. Sesungguhnya, ketika kita menyadari manfaat yang sangat besar dari menyanyikan lagu puji2-an tersebut, maka kita akan melihat hal itu sebagai suatu hak istimewa dan sekaligus kewajiban. Hak istimewa, karena hal itu menggambarkan relasi yang sangat intim antara anak2 kepada Bapa surgawinya. Kewajiban, karena dia merasa terpanggil untuk memuji dan mengagungkan Tuhan, bukan sekedar ketika hidup lancar dan serba enak, tapi akan tetap melakukannya ketika kehidupan terasa sulit. Bahkan sebagaimana kita sebutkan di atas, dalam siksaan yang sedemikian berat sekalipun, mereka tetap setia dan bergairah untuk memuji Tuhan agar mereka semakin dikuatkan dalam penderitaan mereka. Hal ini jugalah yang dialami oleh theolog Jerman, Dietrich Bonhoeffer, di mana dikisahkan bahwa dalam penderitaan yang berat di dalam penjara, dia tetap dapat bertahan karena menyanyikan lagu-lagu pujian.
Bicara mengenai manfaat menyanyikan lagu rohani, Diana Sanchez dalam bukunya, The Hymns of the United Methodist Hymnal menulis:
“Kita menyanyikan puji-pujian karena pada saat bernyanyi, kita mendapatkan pengajaran tentang Alkitab, tentang dunia dan mengenai kehidupan saudara/i kita. Kita belajar mengenal kasih setia dan anugerah Tuhan yang berlimpah-limpah, kehidupan dan pengajaran Yesus, dan mengenal akan gereja mula-mula”
Demikian juga, kita dapat mencatat manfaat memuji Tuhan yang ditulis oleh Sydnor, dalam bukunya Introducing A New Hymnal. Menurut Sydnor, dengan memuji Tuhan, umat dapat mengungkapkan perasaan dan pemikiran mereka. Di dalam pergumulan hidup sehari-hari, jemaat dapat menghadapi kehidupan yang sedemikian berat yang dapat mengakibatkan jiwa yang tertekan atau depressi. Hal tsb seringkali juga disebabkan oleh emosi yang tertahan, atau yg dalam psikologi disebut dengan “hidden emotion”. Tindakan yang normal yang harus dilakukan agar tidak terjadi masalah yang lebih buruk seperti kegilaan adalah melepaskan “the hidden emotion” tsb. Itulah sebabnya saya mengerti ketika seorang ibu secara khusus menelpon ke rumah dan mengatakan, “Pak pendeta, terimakasih saya sampaikan kepada bapak. Pada minggu yl, saya menangis ketika menyanyikan lagu, ‘Di hidupku ku ada sobat yang setia...’, dan jiwa saya sungguh2 tenang, pikiran saya terasa ringan...”
Selanjutnya, Sydnor juga menulis manfaat lain yang sangat penting, yaitu, melalui puji2an rohani, jemaat dapat bersaksi mengenai kepercayaannya kepada orang lain. Sebagaimana ditegaskan oleh Diana tsb di atas, pujian memberikan pengajaran. Jika demikian halnya, maka seharusnya kita berhati-hati dalam memilih lagu yang akan kita nyanyikan. Dengan demikian, kita tidak memberi pengajaran yang salah melalui pujian tersebut, baik itu kita sadari atau tidak. Sebaliknya, kita mengajarkan pengajaran2 penting dan berguna dalam membangun iman jemaat. Itulah sebabnya saya sangat bersyukur ketika meneliti Alkitab, khususnya Perjanjian Baru secara lebih mendalam. Salah satu ajaran yang sangat mendasar dari doktrin gereja adalah ajaran tentang Kristus (Kristologi). Dalam penelitian saya tersebut saya menemukan bahwa ajaran Kristologi yang sangat mendalam yang kita peroleh dari Perjanjian Baru sebenarnya ada dalam bentuk Hymn (pujian). Sebagai contoh adalah: the Logos Hymn (Yoh.1:1-18) dan the Song of Christ (Fil.2:6-11). Dari kedua pasal tersebut di atas, kita diajarkan akan ajaran pribadi Yesus yang sangat mendasar dan mendalam, yaitu bhw Dia adalah Allah sejati dan manusia sejati. Dari sanalah kita dapat menyanyikan, “Tuhanku Yesus, Raja segenap alam, Allah dan manusia...” Hebat sekali, bukan? Itulah sebabnya, saya sangat sedih dan seperti mau berteriak rasanya, ketika orang enggan bahkan menolak untuk menyanyikan lagu2 hymnal dengan alasan sudah terlalu tua dan ketinggalan zaman. Padahal, dalam banyak lagu2 hymnal tsb tersimpan ‘harta karun’ yaitu pengajaran yang sehat yang telah menghibur dan menguatkan Gereja Tuhan di segala abad dan tempat. Dengan menulis seperti ini, harap jangan salah mengerti. Saya tidak anti lagu2 rohani kontemporer, ASALKAN lagu tsb dicipta oleh orang2 yang memiliki pengajaran Alkitab yang benar dan mendalam. Jika tidak, disadari atau tidak, lagu tersebut akan melemahkan atau menyesatkan jemaat, karena ternyata kemudian lagu tsb hanya merangsang emosi sesaat tanpa adanya pengajaran firman yang mendalam dan bertanggung jawab! Itulah sebabnya John Calvin, salah seorang tokoh besar reformasi, sangat kritis dan cenderung negatif terhadap lagu puji2an kontemporer, tetapi sangat mengutamakan lagu2 dari kitab Mazmur. Karena bagi Calvin, syair lagu puji2an mempengaruhi jemaat melebihi apa yang disadarinya.
Kiranya kita, dan seluruh umat Tuhan senantiasa menyadari betapa besar manfaat lagu pujian, tetapi pada saat yang sama juga menyadari adanya bahaya besar ketika jemaat terbiasa menyanyikan lagu pujian dengan syair yang dangkal dan menyesatkan. Kiranya Allah yang mengaruniakan lagu2 pujian bagi gerejaNya, juga mengaruniakan kepada kita semua sikap yang benar terhadap lagu pujian dan berusaha meningkatkan kwalitas lagu pujian kita dari hari ke hari. Semoga Tuhan menolong kita semua.-
Sumber : http://www.mangapulsagala.com